Teori Pamella G. Reed Self-Transcendence
(Transendensi Diri)
Biografi Pamella G. Reed
Pamela G. Reed lahir di Detroit,
Michigan, 13 Juni 1952. Kemudian menikah dengan suaminya Gary pada tahun 1973
dan memiliki 2 putri. Reed lulus sarjana dari Wayne State University di Detroit
tahun 1974 dan mendapatkan M.S.N dalam kesehatan mental psikiatri pada anak dan
remaja dan pendidikan perawat pada tahun 1976. Dia mulai pendidikan doktor pada
universitas tersebut tahun 1979 dan menerima gelar Ph.D tahun 1982 dengan konsentrasi
pada teori keperawatan dan riset. Riset disertasinya, dibimbing oleh Joyce J.
Fitzpatrick, fokus pada hubungan antara kesejahteraan dan perspektif hidup dan kematian pada penyakit terminal dan
kesehatan individu.
Bidang besar
penelitiannya adalah spiritual, filosofi keperawatan, perkembangan sepanjang
kehidupan, proses menua dan kesehatan mental. Riset yang dilakukan mengukur
peran spiritual dalam self-trancendence sebagai fenomena perkembangan
berhubungan dengan kesejahteraan dan keputusan pelayanan kesehatan pada pasien
terminal dan keluarga pemberi layanan. Pengaruh Reed tidak hanya dalam riset
dan publikasinya. Dampak kerja Reed juga dicerminkan dalam riset lebih dari 50
mahasiswa yang tesis dan disertasinya dibawah arahan/bimbingannya dan dalam
pekerjaan ilmuwan lain yang menerapkan teorinya atau skala pengukurannya (Self-Trancendence Scale dan Spiritual Perspective Scale) dalam riset
mereka
Sumber Teori Self-Transcendence Theory
Reed
(1991) mengembangkan teori tentang self-transcendence dengan menggunakan
strategi “deductive reformulation“.
Strategi ini digunakan untuk membangun middle
range theory menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari teori non
keperawatan yang kemudian di reformulasi secara deductive dari model konsep
keperawatan. Teori non keperawatan yang dipergunakan adalah life-span theory
pada social kognitif dan pengembangan transpersonal orang dewasa. Prinsip dari
teori life-span adalah merupakan reformulasi dari prespektif keperawatan dari
Martha E. Rogers tentang konsep kesatuan system manusia.
Reed
menjelaskan tentang teorinya yang terdiri dari tiga sumber (Reed, 2003). Sumber
pertama adalah konsep baru tentang perkembangan manusia sebagai proses
sepanjang hayat dalam mencapai kedewasaan termasuk didalamnya proses menua dan
proses menjelang ajal.
Sumber
kedua berasal dari teori yang dikemukakan oleh Rogers tentang tiga prinsip
hemodinamik yang dianggap sama dan sebangun dengan pengembangan life-span
teori. Roger menyatakan prinsip pengembangan sebagai fungsi dari manusia dan
kontekstual faktor juga mengidentifikasi adanya ketidak seimbangan antara
manusia dan lingkungan sebagai sesuatu yang penting / pemicu dalam
pengembangan. Sejalan dengan teori pengembangan dari Riegel (1976) bahwa
ketidaksinkronisasian antara fisik, emosional, lingkungan, dan dimensi social
merupakan sesuatu yang penting dalam terjadinya pengembangan. Menurut prinsip Roger karakteristik dari pengembangan
manusia adalah inovatif dan tidak dapat diprediksi. Prinsip ini sejalan dengan
prinsip life-span yang mengidentifikasi pengembangan sebagai tidak dalam satu
garis, berkesinambungan sepanjang hidupnya, dan berdasarkan keberagaman
individu dan kelompok sehingga tidak dapat diprediksi dan hal tersebut sejalan
dengan prinsip Roger.
Sumber
ketiga, berasal dari pengalaman klinik dan riset yang mengindikasikan secara
klinik dilaporkan bahwa depresi pada lansia lebih sedikit disebabkan oleh
penurunan sumber pengembangan dan perasaan sejahtera akibat penurunan kemampuan
fisik dan kognitif daripada kelompok kesehatan lansia.
Definisi dan
Konsep Utama
Terdapat lima
konsep dasar dalam teori self-transcendence : Vulnerability, Self-Transcendence, Well-Being Moderating and Mediating Factor, dan Point of
Intervention.
1.
Vulnerability
Vulnerability didefinisikan sebagai
kesadaran seseorang akan mortalitas personal (Reed, 2003 dalam Tomey, 2006, p.
645). Pada permulaannya kalimat “kesadaran seseorang akan mortalitas personal” terkait dengan
perkembangan atau maturasi pada dewasa lanjut atau pada akhir kehidupan.
Self-transcendence merupakan sebuah pola yang berhubungan dengan perkembangan
lanjut dalam kontek tersebut (Reed, 1991 dalam Tomey, 2006, p. 645). Konsep vulnerability meluas pada kesadaran
situasi mortalitas seseorang sampai meliputi krisis dalam kehidupan seperti
kecacatan, sakit kronik, kelahiran dan menjadi orang tua (parenting).
Vulnerability adalah
kesadaran seseorang bahwa kematian akan timbul seiring dengan proses menua dan
dalam fase lain kehidupan atau selama dalam kondisi kesehatan yang krisis.
Konsep vulnerability mengklarifikasi
bahwa kontex dalam self-transcendence dalam realisasinya tidak hanya dalam
mengkonfontasi akhir dari hidup yang dimilikinya, tetapi termasuk didalamnya
ketidakmampuan, penyakit kronis.
2.
Self-Transcendence
Self-transcendence awalnya
didefinisikan oleh Reed (1991) sebagai
“ekspansi dari konsep diri yang
multidimensi: yang bersifat kedalam (seperti melalui introspeksi pengalaman),
yang bersifat keluar (seperti menjangkau yang lainnya), dan yang bersifat
temporer (saat yang lalu dan yang akan dating terintegrasi ke dalam saat ini).
Self-transcendence merujuk pada fluktuasi
persepsi yang melampaui batas-batas seseorang atau dirinya melebihi batasan
pandangan tentang diri dan dunianya. Fluktuasi ini merupakan pandimensional
yaitu pandangan keluar (terhadap orang lain dan lingkungan), pandangan ke dalam
(terhadap kesadaran yang lebih tinggi dari kepercayaan, nilai-nilai dan
mimpi-mimpinya) dan pandangan yang bersifat temporal (terhadap integrasi atau
penyatuan masa lalu dan masa yang akan datang).
Reed memberikan
definisi yang komprehensif pada
publikasi terakhirnya sebagai
berikut: Slef-transcendence
merujuk pada fluktuasi persepsi yang melampaui batas-batas seseorang atau
dirinya melebihi batasan pandangan tentang diri dan dunianya. Fluktuasi ini
merupakan pandimensional yaitu pandangan keluar (terhadap orang lain dan
lingkungan), pandangan ke dalam ( terhadap kesadaran yang lebih tinggi dari
kepercayaan, nilai-nilai dan mimpi-mimpinya ) dan pandangan yang bersifat
temporal (terhadap integrasi atau penyatuan masa lalu dan masa yang akan
datang).
Pada 2003, ada pola lain dari perluasan batas-batas yang
tergabung dalam self-transcendence,
yaitu kemampuan memperluas batas-batas dirinya secara transpersonal
(menghubungkan dengan dimensi diluar dunia nyata). Karena self-transcendence
merupakan pandimensional, maka memungkinkan bahwa dimensi lainnya dapat
ditambahkan untuk mendeskripsikan kemampuan dalam memperluas batasan-batasan
tersebut
3. Well-Being (Sejahtera
Kesejahteraan didefinisikan sebagai rasa dari perasaan
sehat dan perasaan menyeluruh terkait dengan kriteria yang dimiliki seseorang untuk kesejahteraan dan hal yang
menyeluruh. Pada mulanya, Reed tidak secara ekplisit mendefinisikan
kesejahteraan, tetapi mengaitkannya dengan konsep sehat mental yang tergantung
pada isu penting dari perkembangan fase kehidupan. Reed juga menjelaskan
mekanisme yang mendasari kesejahteraan dalam suatu artikel di tahun 1997. dalam
artikel itu dia mengemukakan bahwa keperawatan menjadi “sebuah studi untuk
mencapai kesejahteraan melalui proses keperawatan”. Kesejahteraan sebagai suatu
proses keperawatan kemudian dideskripsikan dalam istilah-istilah hasil suatu
sintesa terhadap dua jenis perubahan : Perubahan dalam kompleksitas kehidupan
(seperti meningkatnya kelemahan akibat bertambahtuanya usia atau kehilangan
suami atau istri yang dicintai) marah terhadap perubahan dalam integrasi (contoh memaknai kejadian-kejadian hidup
secara konstruktif ).
Well-being, diartikan
sebagai rasa yang timbul dari keseluruhan perasaan sehat, termasuk didalamnya
criteria yang ditetapkan sendiri tentang keseluruhan perasaan sejahtera.
4.
Moderating
and Mediating Factor
Luasnya perbedaan variable personal dan kontektual dan
interaksinya dapat mempengaruhi proses self-transcendence
yang berkontribusi terhadap kesejahteraan contoh seperti variable usia, jenis
kelamin, kemampuan kognitif, pengalaman hidup, perspektif spiritual, lingkungan
sosial, dan peristiwa-peristiwa bersejarah. Variable
personal dan kontextual ini dapat memperkuat atau melemahkan hubungan antra
vulnerability dan self-transcendence dan antara self-transcendence dan kesejahteraan.
5.
Point of
Intervention
Menurut
teori self-transcendence terdapat dua
poin intervensi. Kedua poin tersebut berhubungan / berkaitan dalam beberapa
cara denga proses self-transcendence.
Fokus tindakan keperawatan dapat secara langsung pada sumber-sumber didalam
diri seseorang untuk sel-trancendence atau berfokus pada beberapa faktor
personal dan kontextual yang mempengaruhi hubungan antara fulnerability dan self-transcendence dan hubungan antara self-trancendence dan kesejahteraan.
Dapat
disimpulkan, teori self-transcendence mengajukan
tiga keterkaitan, sebagai berikut :
a. Peningkatan vulnerability berkaitan dengan peningkatan self-transcendence.
b.
Self-transcendence adalah secara
positif berhubungan dengan well-being
(sejahtera).
c.
Personal
dan kontextual factor dapat mempengaruhi hubungan antara vulnerability dengan self-transcendence
dan antara self-transcendence dengan well-being.
Kerangka Konsep
Kerangka
sistematik di atas menunjukkan hubungan antara metaparadigma yang dibentuk
kesehatan, manusia, lingkungan dan aktifitas keperawatan. Dalam kerangka
tersebut konsep utama adalah vulnerability (lingkungan) yang merupakan kesadaran manusia
akan kematiannya, termasuk krisis dalam hidup, kecacatan, penyakit terminal,
kelahiran bayi dan orangtua. Vulnerability
mempengaruhi seseorang dalam sisi psikologis dengan berbagai macam respon dari
individu dalam memaknai kejadian atau peristiwa yang dialami. Dikatakan apabila
vulnerablity positif maka
self-transcendence akan meningkat. Self-transcendence
merupakan pengembangan batasan konsep diri. Apabila seseorang mengalami krisis
dan vulnerability menurun (seseorang
tidak mampu mengembangkan kesdaran akan makna kejadian tersebut) dalam hidupnya
maka mengalami penurunan kapasitas memperluas batasan
"transpersonally (untuk
berhubungan dengan dimensi di luar dirinya)"diri sendiri. Sebaliknya,
apabila vulnerability meningkat
(seseorang menyadari makna kejadian yang dialami) maka self-transendence juga akan meningkat, dalam hubungan kedalam
dirinya, hubungan dengan diluar dirinya (orang lain, lingkungan) dan pengalaman
masa lalu yang bisa terintegrasi dalam menghadapi masa sekarang. Hubungan
antara vulnerability dan self-transcendence dipengaruhi oleh
faktor-faktor dari individu yang memperbaiki hubungan seperti umur, jenis
kelamin, kemamp[uan kognitif, pengalaman hidup, perspektif spiritual,
lingkungan sosial. Selain mempengaruhi hubungan antara vulnerability dan self-transcendence,
faktor dari individu mempengaruhi self-trancendence
dan well-being. Points of intervention
dalam hal ini adalah aktifitas keperawatan yang diberikan dan akan mempengaruhi
hubungan vulnerabilty dan self-transcendence serta self-transcendence dan well-being. Pada akhirnya self-transcendence yang positif didukung
faktor individu dan adanya tindakan perawatan akan mengarahkan seseorang dalam
keadaan well-being (sejahtera atau
sehat).
Self-transcendence dapat
diintegrasikan dalam berbagai situasi hidup. Perawat dapat melakukan berbagai
aktivitas untuk meningkatkan perspektif dan akivitas refleksi diri, alturisme,
harapan dan keyakinan/keimanan tentang mortalitas personal yang dikaitkan
dengan peningkatan rasa sejahtera. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam
kelompok yang memiliki masalah yang sama, seperti contohnya gathering pada
kelompok cancer, ostomate, psikoterapi dan lain-lain, dapat dijadikan media
bagi seseorang untuk mencapai rasa sejahtera. Dalam kelompok tersebut mereka
dapat melakukan sharing, berbagi pengalaman dan saling membantu antara satu
sama lain, sehingga mereka merasa berarti. Ketika seseorang merasa berarti
keberadaannya untuk orang lain maupun dirinya sendiri, maka akan timbul rasa sejahtera.
Perawat dalam hal ini berperan selaku fasilitator dalam meningkatkan self-transcendence seseorang sedemikian
rupa sehingga mampu menggali hal-hal positif dan membangun makna yang positif
dalam diri seseorang sehingga menimbulkan rasa sejahtera ( well-being ) dalam dirinya. Perawat dapat memfasilitasi
pasien-pasien untuk melakukan self-transcendence
dengan memberikan kesempatan untuk merefleksikan berbagai hal, instropeksi
diri, menggali keyakinan diri tentang makna hidup, melihat hal-hal positif dalam
dirinya, melakukan interaksi positif dengan lingkungannya sehingga mereka yakin
bahwa mereka benar-benar merasa berarti bagi dirinya dan orang lain, mereka
merasa telah melakukan kebaikan-kebaikan yang akan menjadi bekal dalam
menghadapi kondisi terburuk bahkan kematian sekalipun dengan tenang dan damai,
pada kondisi demikian dapat dikatakan bahwa mereka merasa sejahtera (well-being).
Asumsi Mayor
Pada awal kerja teorinya,
Reed (1986, 1987) mengusulkan pendekatan model proses untuk menyusun kerangka kerja
konseptual yang akan mengarahkan perawat dan pendidikan keperawatan pada
spesialis klinikal. Model tersebut, sehat merupakan pusat dari konsep,
dikelilingan aktifitas keperawatan, manusia dan lingkungan. Asumsi dari model
focus dari keperawatan adalah membangun dan melibatkan pengetahuan untuk
meningkatkan proses kesehatan.
Asumsi dari model Reed adalah kesehatan
menjadi sentral konsep dipengaruhi oleh aktivitas keperawatan, manusia dan
lingkungan. Focus dalam model ini adalah disiplin keperawatan yang telah
membangun dan menyatukan pengetahuan untuk meningkatkan proses kesehatan.
1.
Kesehatan
Kesehatan,
didefinisikan secara implisit sebagai
proses kehidupan yang terdiri dari pengalaman positif dan negative yang
digunakan oleh manusia secara kreatif dan unik untuk mencapai rasa sejahtera. Sehat, pada proses model, didefinisikan secara implisit
sebagai proses hidup baik pengalaman positif dan negative dari nilai unik
individu dan lingkungan yang meningkatkan kesejahteraan
2.
Keperawatan
Peran
aktifitas keperawatan membantu seseorang (melalui proses interpersonal dan
manajemen terapi dari lingkungan) dengan ketrampilan yang diperoleh untuk
meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan.
3.
Manusia
Manusia
adalah seseorang yang harus dipahami sebagai individu yang sedang berkembang
sepanjang hayat mereka dalam berinteraksi dengan orang lain dan dengan
lingkungan dalam perubahan yang kompleks dan vital dimana hal tersebut bisa
berkontribusi positif atau negative dalam
mencapai kesehatan dan rasa
sejahtera. Manusia dipahami berkembang sepanjang kegidupan dalam interaksi
dengan manusia yang lain dan dalam lingkungan yang mngubah secara komplek dan
bersemangat bias kea rah positif dan negative yang berkontribusi kea rah
kesehatan dan kesejahteraan.
4.
Lingkungan
Keluarga,
kontak social,lingkungan fisik, dan sumber komunitas adalah lingkungan yang
secara signifikan berkontribusi pada proses kesehatan yang dapat dipengaruhi
oleh keperawatan melalui manajemen interaksi terapeutik antara manusia, objek,
dan aktivitas keperawatan ( Reed, 1987, p.26 ).
Dalam
keterangan sebelumnya dari munculnya teori self-transcendence,
Reed mengidentifikasi satu asumsi kunci berdasarkan konsep Roger dan
dipengaruhi oleh teori life-span
development, pengetahuan tentang klinik kesehatan mental, penemuan
penelitian, dan pengalaman individu. Asumsinya bahwa manusia sebagai system
terbuka yang memiliki batas-batas dalam dirinya untuk mendefinisikan kenyataan
dirinya dalam menghadirkan rasa menyeluruh dan keterkaitan dengan
lingkungannya. Reed (2003) menegaskan kembali asumsi ini dalam publikasi
terbaru, mengulang asumsi dasar Roger bahwa manusia adalah bagian integral dari
lingkungannya.
Asumsi
kedua, bahwa self-transcendence menjadi suatu pengembangan yang sifatnya
segera. Berkenaan dengan hal ini, self-transcendence
harus diekspresikan seperti pengembangan kapasitas didalam hidup seseorang
untuk merealisasikan kesinambungan rasa menyeluruh dan keterkaitan. Asumsi ini
sama dan sebangun dengan konsep Franhl’s
(1969) dan Maslow’s (1971) bahwa self-transcendence
merupakan karakteristik bawaan manusia, ketika diaktualisasikan akan
memberi arti bagi eksistensi seseorang.