Tampilkan postingan dengan label Teori Pamella G. Reed Self-Transcendence. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Teori Pamella G. Reed Self-Transcendence. Tampilkan semua postingan

Senin, 12 Oktober 2020

Teori Keperawatan

Teori Pamella G. Reed Self-Transcendence 

(Transendensi Diri)

 

Biografi Pamella G. Reed

Pamela G. Reed lahir di Detroit, Michigan, 13 Juni 1952. Kemudian menikah dengan suaminya Gary pada tahun 1973 dan memiliki 2 putri. Reed lulus sarjana dari Wayne State University di Detroit tahun 1974 dan mendapatkan M.S.N dalam kesehatan mental psikiatri pada anak dan remaja dan pendidikan perawat pada tahun 1976. Dia mulai pendidikan doktor pada universitas tersebut tahun 1979 dan menerima gelar Ph.D tahun 1982 dengan konsentrasi pada teori keperawatan dan riset. Riset disertasinya, dibimbing oleh Joyce J. Fitzpatrick, fokus pada hubungan antara kesejahteraan dan perspektif  hidup dan kematian pada penyakit terminal dan kesehatan individu.

Bidang besar penelitiannya adalah spiritual, filosofi keperawatan, perkembangan sepanjang kehidupan, proses menua dan kesehatan mental. Riset yang dilakukan mengukur peran spiritual dalam self-trancendence sebagai fenomena perkembangan berhubungan dengan kesejahteraan dan keputusan pelayanan kesehatan pada pasien terminal dan keluarga pemberi layanan. Pengaruh Reed tidak hanya dalam riset dan publikasinya. Dampak kerja Reed juga dicerminkan dalam riset lebih dari 50 mahasiswa yang tesis dan disertasinya dibawah arahan/bimbingannya dan dalam pekerjaan ilmuwan lain yang menerapkan teorinya atau skala pengukurannya (Self-Trancendence Scale dan Spiritual Perspective Scale) dalam riset mereka

 

Sumber Teori Self-Transcendence Theory

Reed (1991) mengembangkan teori tentang self-transcendence dengan menggunakan strategi “deductive reformulation“. Strategi ini digunakan untuk membangun middle range theory menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari teori non keperawatan yang kemudian di reformulasi secara deductive dari model konsep keperawatan. Teori non keperawatan yang dipergunakan adalah life-span theory pada social kognitif dan pengembangan transpersonal orang dewasa. Prinsip dari teori life-span adalah merupakan reformulasi dari prespektif keperawatan dari Martha E. Rogers tentang konsep kesatuan system manusia.

Reed menjelaskan tentang teorinya yang terdiri dari tiga sumber (Reed, 2003). Sumber pertama adalah konsep baru tentang perkembangan manusia sebagai proses sepanjang hayat dalam mencapai kedewasaan termasuk didalamnya proses menua dan proses menjelang ajal.

Sumber kedua berasal dari teori yang dikemukakan oleh Rogers tentang tiga prinsip hemodinamik yang dianggap sama dan sebangun dengan pengembangan life-span teori. Roger menyatakan prinsip pengembangan sebagai fungsi dari manusia dan kontekstual faktor juga mengidentifikasi adanya ketidak seimbangan antara manusia dan lingkungan sebagai sesuatu yang penting / pemicu dalam pengembangan. Sejalan dengan teori pengembangan dari Riegel (1976) bahwa ketidaksinkronisasian antara fisik, emosional, lingkungan, dan dimensi social merupakan sesuatu yang penting dalam terjadinya pengembangan. Menurut prinsip Roger karakteristik dari pengembangan manusia adalah inovatif dan tidak dapat diprediksi. Prinsip ini sejalan dengan prinsip life-span yang mengidentifikasi pengembangan sebagai tidak dalam satu garis, berkesinambungan sepanjang hidupnya, dan berdasarkan keberagaman individu dan kelompok sehingga tidak dapat diprediksi dan hal tersebut sejalan dengan prinsip Roger.

Sumber ketiga, berasal dari pengalaman klinik dan riset yang mengindikasikan secara klinik dilaporkan bahwa depresi pada lansia lebih sedikit disebabkan oleh penurunan sumber pengembangan dan perasaan sejahtera akibat penurunan kemampuan fisik dan kognitif daripada kelompok kesehatan lansia.

 

Definisi dan Konsep Utama

Terdapat lima konsep dasar dalam teori self-transcendence : Vulnerability, Self-Transcendence, Well-Being Moderating and Mediating Factor, dan Point of Intervention.

1.        Vulnerability

Vulnerability didefinisikan sebagai kesadaran seseorang akan mortalitas personal (Reed, 2003 dalam Tomey, 2006, p. 645). Pada permulaannya kalimat “kesadaran seseorang akan  mortalitas personal” terkait dengan perkembangan atau maturasi pada dewasa lanjut atau pada akhir kehidupan. Self-transcendence merupakan sebuah pola yang berhubungan dengan perkembangan lanjut dalam kontek tersebut (Reed, 1991 dalam Tomey, 2006, p. 645). Konsep vulnerability meluas pada kesadaran situasi mortalitas seseorang sampai meliputi krisis dalam kehidupan seperti kecacatan, sakit kronik, kelahiran dan menjadi orang tua (parenting).

Vulnerability adalah kesadaran seseorang bahwa kematian akan timbul seiring dengan proses menua dan dalam fase lain kehidupan atau selama dalam kondisi kesehatan yang krisis. Konsep vulnerability mengklarifikasi bahwa kontex dalam self-transcendence dalam realisasinya tidak hanya dalam mengkonfontasi akhir dari hidup yang dimilikinya, tetapi termasuk didalamnya ketidakmampuan, penyakit kronis.

2.        Self-Transcendence                

Self-transcendence awalnya didefinisikan oleh Reed (1991) sebagai  “ekspansi dari  konsep diri yang multidimensi: yang bersifat kedalam (seperti melalui introspeksi pengalaman), yang bersifat keluar (seperti menjangkau yang lainnya), dan yang bersifat temporer (saat yang lalu dan yang akan dating terintegrasi ke dalam saat ini).

Self-transcendence merujuk pada fluktuasi persepsi yang melampaui batas-batas seseorang atau dirinya melebihi batasan pandangan tentang diri dan dunianya. Fluktuasi ini merupakan pandimensional yaitu pandangan keluar (terhadap orang lain dan lingkungan), pandangan ke dalam (terhadap kesadaran yang lebih tinggi dari kepercayaan, nilai-nilai dan mimpi-mimpinya) dan pandangan yang bersifat temporal (terhadap integrasi atau penyatuan masa lalu dan masa yang akan datang).

 Reed memberikan definisi  yang komprehensif pada publikasi terakhirnya sebagai berikut: Slef-transcendence merujuk pada fluktuasi persepsi yang melampaui batas-batas seseorang atau dirinya melebihi batasan pandangan tentang diri dan dunianya. Fluktuasi ini merupakan pandimensional yaitu pandangan keluar (terhadap orang lain dan lingkungan), pandangan ke dalam ( terhadap kesadaran yang lebih tinggi dari kepercayaan, nilai-nilai dan mimpi-mimpinya ) dan pandangan yang bersifat temporal (terhadap integrasi atau penyatuan masa lalu dan masa yang akan datang).

Pada 2003, ada pola lain dari perluasan batas-batas yang tergabung dalam self-transcendence, yaitu kemampuan memperluas batas-batas dirinya secara transpersonal (menghubungkan dengan dimensi diluar dunia nyata). Karena self-transcendence merupakan pandimensional, maka memungkinkan bahwa dimensi lainnya dapat ditambahkan untuk mendeskripsikan kemampuan dalam memperluas batasan-batasan tersebut

3.      Well-Being (Sejahtera

Kesejahteraan didefinisikan sebagai rasa dari perasaan sehat dan perasaan menyeluruh terkait dengan kriteria yang dimiliki seseorang untuk kesejahteraan dan hal yang menyeluruh. Pada mulanya, Reed tidak secara ekplisit mendefinisikan kesejahteraan, tetapi mengaitkannya dengan konsep sehat mental yang tergantung pada isu penting dari perkembangan fase kehidupan. Reed juga menjelaskan mekanisme yang mendasari kesejahteraan dalam suatu artikel di tahun 1997. dalam artikel itu dia mengemukakan bahwa keperawatan menjadi “sebuah studi untuk mencapai kesejahteraan melalui proses keperawatan”. Kesejahteraan sebagai suatu proses keperawatan kemudian dideskripsikan dalam istilah-istilah hasil suatu sintesa terhadap dua jenis perubahan : Perubahan dalam kompleksitas kehidupan (seperti meningkatnya kelemahan akibat bertambahtuanya usia atau kehilangan suami atau istri yang dicintai) marah terhadap perubahan dalam integrasi  (contoh memaknai kejadian-kejadian hidup secara konstruktif ).

Well-being, diartikan sebagai rasa yang timbul dari keseluruhan perasaan sehat, termasuk didalamnya criteria yang ditetapkan sendiri tentang keseluruhan perasaan sejahtera.

4.        Moderating and Mediating Factor

Luasnya perbedaan variable personal dan kontektual dan interaksinya dapat mempengaruhi proses self-transcendence yang berkontribusi terhadap kesejahteraan contoh seperti variable usia, jenis kelamin, kemampuan kognitif, pengalaman hidup, perspektif spiritual, lingkungan sosial, dan peristiwa-peristiwa bersejarah. Variable personal dan kontextual ini dapat memperkuat atau melemahkan hubungan antra vulnerability dan self-transcendence dan antara self-transcendence dan kesejahteraan.

5.        Point of Intervention

Menurut teori self-transcendence terdapat dua poin intervensi. Kedua poin tersebut berhubungan / berkaitan dalam beberapa cara denga proses self-transcendence. Fokus tindakan keperawatan dapat secara langsung pada sumber-sumber didalam diri seseorang untuk sel-trancendence atau berfokus pada beberapa faktor personal dan kontextual yang mempengaruhi hubungan antara fulnerability dan self-transcendence dan hubungan antara self-trancendence dan kesejahteraan.

Dapat disimpulkan, teori self-transcendence mengajukan tiga keterkaitan, sebagai berikut :

a.     Peningkatan vulnerability berkaitan dengan peningkatan self-transcendence.

b.    Self-transcendence adalah secara positif berhubungan dengan well-being (sejahtera).

c.     Personal dan kontextual factor dapat mempengaruhi hubungan antara vulnerability dengan self-transcendence dan antara self-transcendence dengan well-being.

 

Kerangka Konsep


Model of Self-Transcendence Theory Reed, P.G. (2003) dalam Tomey (2006)

Kerangka sistematik di atas menunjukkan hubungan antara metaparadigma yang dibentuk kesehatan, manusia, lingkungan dan aktifitas keperawatan. Dalam kerangka tersebut konsep utama adalah vulnerability  (lingkungan) yang merupakan kesadaran manusia akan kematiannya, termasuk krisis dalam hidup, kecacatan, penyakit terminal, kelahiran bayi dan orangtua. Vulnerability mempengaruhi seseorang dalam sisi psikologis dengan berbagai macam respon dari individu dalam memaknai kejadian atau peristiwa yang dialami. Dikatakan apabila vulnerablity positif maka self-transcendence akan meningkat. Self-transcendence merupakan pengembangan batasan konsep diri. Apabila seseorang mengalami krisis dan vulnerability menurun (seseorang tidak mampu mengembangkan kesdaran akan makna kejadian tersebut) dalam hidupnya maka mengalami penurunan kapasitas memperluas batasan "transpersonally (untuk berhubungan dengan dimensi di luar dirinya)"diri sendiri. Sebaliknya, apabila vulnerability meningkat (seseorang menyadari makna kejadian yang dialami) maka self-transendence juga akan meningkat, dalam hubungan kedalam dirinya, hubungan dengan diluar dirinya (orang lain, lingkungan) dan pengalaman masa lalu yang bisa terintegrasi dalam menghadapi masa sekarang. Hubungan antara vulnerability dan self-transcendence dipengaruhi oleh faktor-faktor dari individu yang memperbaiki hubungan seperti umur, jenis kelamin, kemamp[uan kognitif, pengalaman hidup, perspektif spiritual, lingkungan sosial. Selain mempengaruhi hubungan antara vulnerability dan self-transcendence, faktor dari individu mempengaruhi self-trancendence dan well-being. Points of intervention dalam hal ini adalah aktifitas keperawatan yang diberikan dan akan mempengaruhi hubungan vulnerabilty dan self-transcendence serta self-transcendence dan well-being. Pada akhirnya self-transcendence yang positif didukung faktor individu dan adanya tindakan perawatan akan mengarahkan seseorang dalam keadaan well-being (sejahtera atau sehat).

Self-transcendence dapat diintegrasikan dalam berbagai situasi hidup. Perawat dapat melakukan berbagai aktivitas untuk meningkatkan perspektif dan akivitas refleksi diri, alturisme, harapan dan keyakinan/keimanan tentang mortalitas personal yang dikaitkan dengan peningkatan rasa sejahtera. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam kelompok yang memiliki masalah yang sama, seperti contohnya gathering pada kelompok cancer, ostomate, psikoterapi dan lain-lain, dapat dijadikan media bagi seseorang untuk mencapai rasa sejahtera. Dalam kelompok tersebut mereka dapat melakukan sharing, berbagi pengalaman dan saling membantu antara satu sama lain, sehingga mereka merasa berarti. Ketika seseorang merasa berarti keberadaannya untuk orang lain maupun dirinya sendiri, maka akan timbul rasa sejahtera. Perawat dalam hal ini berperan selaku fasilitator dalam meningkatkan self-transcendence seseorang sedemikian rupa sehingga mampu menggali hal-hal positif dan membangun makna yang positif dalam diri seseorang sehingga menimbulkan rasa sejahtera ( well-being ) dalam dirinya. Perawat dapat memfasilitasi pasien-pasien untuk melakukan self-transcendence dengan memberikan kesempatan untuk merefleksikan berbagai hal, instropeksi diri, menggali keyakinan diri tentang makna hidup, melihat hal-hal positif dalam dirinya, melakukan interaksi positif dengan lingkungannya sehingga mereka yakin bahwa mereka benar-benar merasa berarti bagi dirinya dan orang lain, mereka merasa telah melakukan kebaikan-kebaikan yang akan menjadi bekal dalam menghadapi kondisi terburuk bahkan kematian sekalipun dengan tenang dan damai, pada kondisi demikian dapat dikatakan bahwa mereka merasa sejahtera (well-being).

 

Asumsi Mayor

Pada awal kerja teorinya, Reed (1986, 1987) mengusulkan pendekatan model proses untuk menyusun kerangka kerja konseptual yang akan mengarahkan perawat dan pendidikan keperawatan pada spesialis klinikal. Model tersebut, sehat merupakan pusat dari konsep, dikelilingan aktifitas keperawatan, manusia dan lingkungan. Asumsi dari model focus dari keperawatan adalah membangun dan melibatkan pengetahuan untuk meningkatkan proses kesehatan.

Asumsi dari model Reed adalah kesehatan menjadi sentral konsep dipengaruhi oleh aktivitas keperawatan, manusia dan lingkungan. Focus dalam model ini adalah disiplin keperawatan yang telah membangun dan menyatukan pengetahuan untuk meningkatkan proses kesehatan.

1.        Kesehatan

Kesehatan, didefinisikan secara implisit sebagai proses kehidupan yang terdiri dari pengalaman positif dan negative yang digunakan oleh manusia secara kreatif dan unik untuk mencapai rasa sejahtera. Sehat, pada proses model, didefinisikan secara implisit sebagai proses hidup baik pengalaman positif dan negative dari nilai unik individu dan lingkungan yang meningkatkan kesejahteraan

2.        Keperawatan

Peran aktifitas keperawatan membantu seseorang (melalui proses interpersonal dan manajemen terapi dari lingkungan) dengan ketrampilan yang diperoleh untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan.

3.        Manusia

Manusia adalah seseorang yang harus dipahami sebagai individu yang sedang berkembang sepanjang hayat mereka dalam berinteraksi dengan orang lain dan dengan lingkungan dalam perubahan yang kompleks dan vital dimana hal tersebut bisa berkontribusi positif atau negative dalam  mencapai kesehatan dan  rasa sejahtera. Manusia dipahami berkembang sepanjang kegidupan dalam interaksi dengan manusia yang lain dan dalam lingkungan yang mngubah secara komplek dan bersemangat bias kea rah positif dan negative yang berkontribusi kea rah kesehatan dan kesejahteraan.

4.        Lingkungan

Keluarga, kontak social,lingkungan fisik, dan sumber komunitas adalah lingkungan yang secara signifikan berkontribusi pada proses kesehatan yang dapat dipengaruhi oleh keperawatan melalui manajemen interaksi terapeutik antara manusia, objek, dan aktivitas keperawatan ( Reed, 1987, p.26 ).

Dalam keterangan sebelumnya dari munculnya teori self-transcendence, Reed mengidentifikasi satu asumsi kunci berdasarkan konsep Roger dan dipengaruhi oleh teori life-span development, pengetahuan tentang klinik kesehatan mental, penemuan penelitian, dan pengalaman individu. Asumsinya bahwa manusia sebagai system terbuka yang memiliki batas-batas dalam dirinya untuk mendefinisikan kenyataan dirinya dalam menghadirkan rasa menyeluruh dan keterkaitan dengan lingkungannya. Reed (2003) menegaskan kembali asumsi ini dalam publikasi terbaru, mengulang asumsi dasar Roger bahwa manusia adalah bagian integral dari lingkungannya.

Asumsi kedua, bahwa self-transcendence  menjadi suatu pengembangan yang sifatnya segera. Berkenaan dengan hal ini, self-transcendence harus diekspresikan seperti pengembangan kapasitas didalam hidup seseorang untuk merealisasikan kesinambungan rasa menyeluruh dan keterkaitan. Asumsi ini sama dan sebangun dengan konsep  Franhl’s (1969) dan Maslow’s (1971) bahwa self-transcendence merupakan karakteristik bawaan manusia, ketika diaktualisasikan akan memberi  arti bagi eksistensi seseorang.